Cerita Sex - Pertama kali aku mengenal dirinya, aku kagum dengan budi pekerti dan
kesopanan bicaranya. Saat itu aku masih ingat, dia sudah duduk di bangku
akhir SLTP dan usianya menginjak 15 tahun, namanya Santi, ya.. Santi,
cantik sekali namanya secantik orangnya. Waktu itu aku sudah bertunangan
dengan kakak sepupunya yang sekarang telah menjadi istri tercintaku dan
dikaruniai seorang putra yang lucu.
Tiga tahun kemudian adik sepupu istriku Santi datang ke rumahku dan
memintaku untuk membantu mencarikan PTS di kotaku. Aku dan istriku jadi
repot dibuatnya karena harus mengantarkan dia untuk daftar, test dan
cari kost. Selama membantu dia, aku mendapatkan pengalaman yang sangat
menarik dan membuatku bertanya-tanya dalam hati.
Selama aku membantunya mencarikan PTS di kotaku, dia sering mencuri
pandang ke arahku dengan pandangan yang nakal, kemudian terseyum sambil
memandang kejauhan. Hampir tanpa ekspresi, aku pun terdiam sampai dia
berlalu. Aku terkejut bukan karena cara pandangannya kepadaku, tapi dia
sendiri itu yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku kemudian
berandai-andai, jika waktu berpihak kepadaku, jika keberuntungan
mendukung, jika kesempatan mau sedikit saja berbaik hati. Mungkin juga
aku yang terlalu berharap dibuatnya, sebenarnya batinku tidak setuju
untuk menyebutnya begitu.
Sesungguhnya kita sering diganggu oleh ketidakpastian yang menghantui
kotak pikiran, namun setelah kenyataan dihadapan mataku, maka baru
sadar. Aku takut tidak dapat mengendalikan diriku lagi. Pada suatu hari
dia datang ke rumahku, karena ada hari libur besoknya, dia mau menginap
di rumahku. Hatiku jadi gelisah, aku ingin melakukan sesuatu,
mengalirkan magma yang meledak-ledak dalam diriku. Tapi batin dan
nuraniku melarangnya, tidak sepantasnya itu terjadi padaku dan sepupuku/
“Kak, tolong aku dong!” Pandangannya menusuk, menembus dadaku hingga jantungku, serasa ingin meloncat.
“Jika Kakak tak keberatan, Santi minta diajarin naik motor bebek”, matanya mengerling ke arahku serasa terseyum manis.
Belum pernah aku menerima tawaran seperti ini dari wanita. Kau telah
menyentuh sisi paling rawan dalam hatiku. Aku mengangguk sambil tetap
mencengkram wajahnya dengan tatapanku, sayang untuk dilepaskan. Wajahnya
lembut, tenang dan dewasa, kalau saja tubuhnya setinggi minimal 175 cm,
pastilah sudah menjadi bintang film sejak lama. Rambutnya sebahu,
kulitnya kuning langsat, Pokoknya mantap!
“Mengapa memilih Kakak? Mengapa tidak kepada pacarmu atau temanmu yang lain?” tanyaku.
“Saya telah memilih Kakak”, katanya manja. Aku mulai menggodanya..
“Memilih Kakak?” Dia mengangguk lugu, tetapi semakin mempesona.
“Kalau begitu, jangan protes apa-apa, kamu Kakak terima menjadi murid, sederhana bukan?” kataku.
“Kakak akan menyesal jika melewatkan kesempatan ini, sebab Kakak ingin
tercatat dalam hati sanubari Santi yang paling dalam sebagai orang
paling berjasa menumbuhkan dan menyemaikan bakat naik motor kepada Santi
gadis yang manis, kandidat peraih Putri Indonesia.” Tawanya meledak,
matanya menyepit, bibirnya memerah. Pipinya juga, duhh..!
“Kapan Kak belajarnya?” tanya dia.
“Sekarang”, jawabku.
Kemudian kami pamit kepada istriku, dan aku mengeluarkan motor bebek,
kuhidupkan mesinnya. Aku duduk di depan dan dia di belakangku, aku
mencari daerah yang sepi lalu lintasnya. Setelah sampai di daerah yang
lalu lintasnya kurasa sepi, aku menghentikan dan turun dari motor.
Kemudian aku memberikan beberapa petunjuk yang diperlukan dan
mempersilakan dia untuk duduk di depan dan aku di belakangnya. Beberapa
menit kemudian motor mulai jalan pelan dan bergoyang-goyang hingga mau
jatuh. Terpaksa aku membantu memegang stang motor, aku tidak sempat
memperhatikan lekuk tubuhnya. Badannya sangat indah jauh lebih indah
dari yang aku bayangkan. Lehernya yang putih, pundaknya, buah dadanya..
Akh..!
Setelah aku membantu memegang stang, motor dapat berjalan dengan stabil,
aku mulai dapat membagi konsentrasi. Aku merasakan kehangatan
tangannya, telapak tanganku menumpuk pada telapak tangannya. Kuusap
tangannya, dia nggak bereaksi, mungkin karena lagi konsentrasi dengan
jalan. Kemudian aku merapatkan dudukku ke depan sehingga kemaluanku
merapat pada punggung bagian bawah. Hidungku kudekatkan ke belakang
telinganya, tercium bau wangi pada rambutnya. Aku mulai terangsang,
kemaluanku mulai tegak di balik celana dalam yang kupakai.
Karena dia sudah mulai dapat menguasai motor, sementara aku masih dapat
mengontrol diriku dengan baik, kutawarkan untuk latihan sendiri dan aku
menunggu di warung saja. Tapi dia nggak mau, dia ingin aku tetap duduk
di belakangnya. Aku jadi khawatir sendiri, kalau begini terus akan
berbahaya, imanku kuat tapi barangku nggak mau diajak kompromi.
Akhirnya timbul dalam pikiranku untuk sekedar berbuat iseng saja.
Kemudian aku pura-pura menjelaskan soal lalu lintas, aku merapatkan
badanku sampai kemaluanku menempel di bawah punggungnya. Santi pasti
juga dapat merasakan kemaluanku yang tegak. Tapi dia cuma diam saja,
kubisikan di telinganya..
“Santi, kamu cantik sekali!” kataku dengan suara bergetar.
Tetapi dia tetap tidak bereaksi, kemudian aku meletakkan kedua tanganku
di kedua pahanya. Rupanya dia tetap tidak bereaksi, aku jadi semakin
berani mengusap-usap pahanya yang terbuka, karena dia memakai celana
pendek.
“Akh.. Kakak nakal! Entar dimarahi Kak Lina lho, kalau ketahuan!”, katanya manja.
“Kalau Santi nggak cerita, ya.. Nggak ada yang tahu! Emang Santi mau cerita sama Kak Lina?” tanyaku.
“Ya.. Nggak sih”, katanya.
“Kalau gitu kamu baik dech”, kataku.
Karena mendapat lampu hijau aku semakin berani, kukatakan bahwa
payudaranya sangat bagus bentuknya, lebih bagus dari punya kakaknya,
Lina. Dia tampak senang.
“Kakak ingin sekali menyentuhnya, boleh nggak?” kataku meluncur dengan begitu saja.
“Akh.. Kakak nakal”, katanya manja.
Aku semakin nekat saja, sebab dari jawabannya aku yakin dia nggak
keberatan. Kemudian tanganku pelan-pelan mulai menyentuhnya dan kemudian
memegang penuh dengan telapak tanganku. Wah, rasanya keras sekali,
kucoba meremasnya dan dia sedikit terkejut. Aku tidak dapat memegang
lama-lama sebab harus membagi konsentrasi dengan jalan. Yang jelas
kemaluanku semakin berdenyut-denyut.
Aku tersentak waktu dia mengerem motor dengan mendadak untuk menghindari
lubang. Tubuhku menekan tubuhnya hingga membuat kesadaranku pulih,
akhirnya aku memutuskan untuk mengajaknya pulang. Aku sempat melihat
kekecewaan di matanya. Tapi mau bagaimana lagi itu jalan terbaik, agar
aku tidak sampai terjebak pada posisi yang sulit nantinya.
Besok paginya, waktu aku mau berangkat bekerja, istriku memintaku untuk
mengantarkan Santi dulu ke tempat kostnya. Tentu saja aku bersedia,
malah jantungku menjadi berdebar-debar. Nggak lama kemudian Santi
mendekati kami.
“Kak, antarin Santi dulu dong? Santi ada kuliah pagi nich! Teman Santi nggak jadi menjemput”, katanya.
“Ayo!” ajakku sambil masuk ke dalam mobil.
“Santi mau mandi dulu ya Kak!” katanya.
“Nggak usah, nanti keburu macet di jalan, mandinya nanti aja di kost.”, jawabku.
Di dalam hatiku aku sudah berjanji bahwa aku harus dapat mengendalikan
diri. Sehingga selama dalam perjalanan aku banyak diam. Akhirnya dia
mulai membuka pembicaraan..
“Kak, kok diam aja sih? Marah ya? Anterin Santi pulang!” kata Santi.
“Kakak cuma lagi kurang enak badan saja”, jawabku sekenanya.
Setelah sampai di depan rumah kostnya, dia minta aku untuk ikut masuk,
mengambil mainan yang telah dibelikannya untuk anakku. Mulanya aku
menolaknya, tapi karena dia mau buru-buru berangkat kuliah dan juga
belum mandi, sedangkan kamarnya di lantai 3. Aku jadi kasihan kalau dia
harus naik turun tangga hanya untuk mengambilkan mainan saja. Akhirnya
aku mengikutinya dari belakang, aku sempat heran dan tanya kepada dia..
“Kok sepi sekali?”
Ternyata kata Santi semua sudah pada berangkat kuliah. Kemudian aku
disuruh menunggu di kamarnya, sementara dia mandi. Setelah selesai mandi
dia masuk ke kamar, wajahnya kelihatan segar.
“Lho kok nggak ganti pakaian?” tanyaku.
“Iya, tadi temanku kasih tahu kalau dosennya nggak masuk, jadi Santi
nggak perlu buru-buru lagi.” katanya. Sementara aku duduk di tempat
tidurnya, dia mengambilkan mainan yang akan diberikan pada anakku.
“Ini Kak”, katanya sambil duduk di sampingku.
“Wah bagus sekali. Terima kasih ya!” kataku.
Sewaktu aku mau berpamitan keluar, pandangan mataku beradu dengannya,
hati ini kembali berdebar-debar, pandangan matanya benar-benar
meluluh-lantakan hatiku dan menghancurkan imanku. Aku tidak jadi
berdiri, kupegang tangannya. Kuusap dengan penuh perasaan, dia diam
saja, kemudian kupegang pundaknya, kubelai rambutnya..
“Santi kamu cantik sekali”, kataku dengan suara bergetar, tapi Santi
diam saja dengan muka semakin menunduk. Kemudian aku meletakkan tanganku
di pundaknya. Dan karena dia diam saja, aku jadi semakin berani, kucium
di bagian belakang telinganya dengan lembut, rupanya dia mulai
terangsang. Dengan pelan-pelan badan Santi aku bimbing, kuangkat agar
berada dalam pangkuanku.
Sementara kemaluanku semakin menegang, usapan tanganku semakin turun ke
arah payudaranya. Aku merasa nafas Santi sudah memburu seperti nafasku
juga. Aku semakin nekat, tanganku kumasukan ke dalam kaosnya dari bawah.
Pelan-pelan merayap naik ke atas mendekati panyudaranya, dan ketika
tanganku sudah sampai ke pinggiran payudaranya yang masih tertutup
dengan BH-nya, kuusap bagian bawahnya dengan penuh perasaan, dia
menggelinjang dan menoleh ke arahku dengan mulut sedikit terbuka.
Aku jadi tidak tahan lagi, kutundukan muka kemudian mendekatkan bibirku
ke bibirnya. Ketika bibir kita bersentuhan, aku merasakan sangat hangat,
kenyal dan basah. Aku pun melumat bibirnya dengan perasaan sayang dan
Santi membalas ciumanku, pelan-pelan lidahku mulai menjulur menjelajahi
ke dalam mulutnya dan mengkait-kaitkan lidahnya, membuat nafas Santi
semakin memburu.
Tanganku pun tidak tinggal diam, kusingkapkan BH-nya ke atas, sehingga
aku dapat dengan leluasa memegang payudaranya. Aku belum melihat tapi
aku sudah dapat membayangkan bentuknya, ukurannya tidak terlalu besar
dan terlalu kecil, sehingga kalau dipegang rasanya pas dengan telapak
tanganku. Payudaranya bulat dengan punting yang tegak bergetar seperti
menantangku. Kuusap dan kuremas, Santi mulai merintih.
Kemudian Santi kurebahkan di kasur, kulepas kaosnya dan BH-nya sehingga
tampak pemandangan yang sangat menakjubkan. Dua buah gundukan yang
berdiri tegak menantang, kupandangi badannya yang setengah telanjang.
Kemudian mulutku pelan-pelan kudekatkan ke buah dadanya, dan ketika
mulutku menyentuh buah dadanya, Santi merintih lebih keras. Nafsuku
semakin naik, kuciumi susunya dengan tidak sabar. Putingnya kukulum
dengan lidahku, kuputar-putar di sekitar putingnya dan susunya yang
sebelah kuremas dengan tanganku.
“Aduuhh.. Ahh.. Ah”, Santi semakin mengerang-erang dan dengan gemas putingnya kugigit-gigit sedikit.
Badannya menggelinjang membuatku semakin bernafsu untuk terus
mencumbunya. Sekarang tanganku mulai beroperasi di daerah bawah, kubuka
celana pendeknya hingga sekarang hanya mengenakan celana dalam saja,
rupanya celana dalamnya sudah basah. Akhirnya kulepas sekalian, sehingga
tampak vaginanya yang masih kencang dan ditumbuhi rambut yang tidak
banyak, membuat kemaluanku semakin tegang.
Kubersihkan vaginanya dengan bekas celana dalamnya. Kemudian kupandangi
dan kuusap-usap dengan penuh perasaan, Santi tampak sangat menikmati
sekali, dan saat jariku menyentuh klitorisnya, Santi menggelinjang
dengan keras. Sementara klitorisnya masih kuusap-usap dengan jariku,
Santi semakin menggeliat-liat. Pada saat itu aku ingin sekali mencium
vaginanya, karena sudah terangsang sekali. Saat aku mau menunduk untuk
mencium, kuangkat tanganku tapi pada saat itu dia langsung merapatkan
kedua pahanya dan badannya tegang sekali dan tersentak-sentak selama
beberapa saat.
“Aahhkk.. Oohh.. Kak, aahh!”
Akhirnya Santi diam beberapa saat, kudiamkan saja, sebab dia baru saja
merasakan orgasme. Tubuhnya terkulai lemas, aku jadi kasihan sehingga
senjataku juga ikut-ikutan turun. Dengan penuh rasa kasih sayang aku
menghampirinya, duduk di pembaringan sejajar dengan buah dadanya dan
menghadap ke arah wajahnya. Tubuhnya kututupi dengan selimut. Kubelai
rambutnya dan kucium keningnya, rupanya dia terharu dengan perilakuku.
Baru saja aku mau berdiri, tanganku diraihnya, kemudian aku duduk lagi,
tahu-tahu tangannya sudah ada di atas pahaku.
“Kak, baru kali ini Santi merasakan sensasi yang sangat luar biasa
nikmatnya, sebab yang namanya disentuh oleh laki-laki Santi belum
pernah, apalagi pacaran. Jadi Kakak adalah orang yang pertama yang
menyentuh Santi, tapi Santi senang kok Kak. Tadi Santi merasakan
nikmatnya sampai tiga kali Kak, Santi sangat puas Kak!”
Dalam hatiku bertanya mengapa bisa sampai 3 kali, padahal aku kira cuma
sekali. Pantas dia langsung KO. Mungkin karena dia tidak pernah dijamah
laki-laki, jadi tubuhnya sangat sensitif sekali.
“Kok diam saja, Kak? Apa Kakak juga udah puas?” tanyanya.
“Santi nggak usah pikirin Kakak, yang penting kamu sudah dapat merasakan
nikmatnya orang bercumbu yang seharusnya belum boleh kamu rasakan.
Sekarang Kakak mau berangkat bekerja dulu, oke!” kataku.
“Kak gimana caranya biar Kakak juga bisa merasakan nikmat”, katanya
dengan lugu. Tangannya yang masih ada di atas pahaku tahu-tahu sudah
melepas sabukku dan membuka celanaku.
“Biar Santi juga mau pegang punya Kakak seperti tadi Kakak pegang punya
Santi, tadi waktu Kakak pegang memek Santi dan mengusap-usap, Santi
mendapat kenikmatan luar biasa, berarti kalau punya Kakak Santi pegang
dan diusap-usap pasti Kakak juga merasa nikmat”, katanya sok tahu.
Sekarang celana dalamku sudah kelihatan dan Santi mulai memegang dan
meremasnya dari luar. Kemaluanku jadi tegak dan menyembul keluar dari
celana dalamku. Dia terkejut dan takjub, “Wuah besar sekali.” Kalau
sudah begini aku jadi lupa lagi dengan diriku, aku menurunkan celana
dalamku agar dia dapat leluasa memainkannya. Kemaluanku yang sudah
sangat tegak digenggamnya dengan telapak tangannya dan diremasnya.
“Akh.. Santi, enaakk”, dia tambah bersemangat. Jari-jarinya mengusap-usap kepala kemaluanku.
“Santi, teruskan sayang..” kataku dengan ketegangan yang semakin
menjadi-jadi. Aku merasa kemaluanku sudah keras sekali. Santi meremas
dan mengurut kemaluanku semakin cepat.
“Santi!” seruku.
“Kakak akan terasa lebih nikmat kalau Santi mau menciumnya!”
Kemudian kupindahkan kepalanya di pahaku dan susunya menempel
dipunggungku, aku ajari dia, mulanya kusuruh cium batang kemaluanku
kemudian kusuruh jilati dengan lidahnya. Aku merasakan sesuatu yang lain
yang tidak kualami jika dengan istriku, mungkin karena Santi masih
gadis, lugu dan tubuhnya belum pernah dijamah sedikitpun oleh laki-laki.
Rupanya Santi juga menikmati dan mulai terangsang. Karena posisi kami
kurang bebas, aku membimbing Santi bangun dari pembaring dan duduk di
lantai sementara aku tetap duduk di pembaring, sehingga mukanya tepat di
depan selangkanganku. Kini dengan leluasa dia dapat melihat kemaluanku
yang semakin keras. Kemaluanku terus dipandangi tanpa berkedip, dan
rupanya makin membuat nafsunya memuncak.
Mulutnya perlahan mulai didekatkan ke arah kemaluanku dan bibirnya
mengecup kepala kemaluanku, tangannya memegang pangkal kemaluanku.
Mulutnya mulai ditempelkan pada kepala kemaluanku dan lidahnya kusuruh
menjilati ujungnya. Dan aku mulai menyuruhnya untuk dikulum di dalam
mulutnya, mulutnya mulai dibuka agak lebar dan kemaluanku bagian
ujungnya mulai dikulum, aku semakin keenakan.
“Santi.. ennaak! Terus sayang, masukan terus lebih dalam lagi, nah.. Begitu sayang.”
Rambutnya kuusap-usap dan kepalanya pelan-pelan kutarik kemudian
kudorong lagi ke arah kemaluanku. Rupanya dia tahu maksudku, kemudian
dia maju mundurkan kemaluanku di dalam mulutnya. Aku merasa sudah nggak
tahan, apalagi sewaktu Santi melakukannya semakin cepat. Ketika aku
merasa spermaku mau keluar, pelan-pelan kutahan gerakan kepalanya,
maksudku mau menarik kemaluanku keluar dari mulutnya. Tetapi dia malah
melawan gerakanku, dengan memegang pangkal kemaluanku lebih kuat dan
mempercepat gerakannya. Akhirnya aku tidak dapat menahan lebih lama
lagi..
“Aahh, aahh, aahh..!”
Spermaku keluar di dalam mulutnya dengan rasa nikmat luar biasa dan
badanku sampai tersentak-sentak. Kemudian kemaluanku kutarik dari
mulutnya. Aku melihat di mulutnya belepotan dengan spermaku, kuangkat
dia dan kududukkan di pahaku, tanganku yang sebelah kiri menopang
kepalanya, sedangkan tanganku yang kanan membersihkan mulutnya.
“Kamu pintar sekali, Kakak mendapatkan kenikmatan yang luar biasa”, kataku berbisik.
“Santi.. Juga Kak, sekarang Santi merasakan tulang-tulang Santi seperti
lepas!” Kemudian kuangkat tubuhnya yang masih telanjang, kurebahkan di
pembaringan. Aku sendiri merapikan pakaian dan langsung pamit pulang.
Setelah kejadian tersebut aku sangat merasa menyesal, tapi lagi-lagi
sudah terlambat, tapi hatiku mengatakan tidak ada yang terlambat, lebih
baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Aku kembali berjanji dalam
hatiku cukup sampai di sini.